Ilustrasi: Pngtree |
Ini tentang Mamaku.
Perempuan cantik yang menjadi primadona semasa mudanya. Berumur separuh bayapun ia masih terlihat cantik. Lalu, ia jatuh cinta pada seorang pemuda nyentrik, yang kemudian menjadi ayah bagi anak-anaknya. Menjadi ayahku dan kakakku.
Mama adalah orang paling cerewet di keluarga kami. Suara lengkingannya terdengar sepanjang hari, apalagi ketika satu benda tidak ia lihat ditempatnya. Bahkan untuk memanggilku saja, ia harus berteriak melengking yang seringkali membuatku kaget. jelaslah, aku hanya beberapa meter dari tempatnya berdiri.
Barang pindah tempat, barang hilang, dan semua kekacauan yang terjadi di rumah, aku adalah orang pertama yang akan dituduhnya. Ketika begini, aku menyesali dilahirkan sebagai anak bungsu.
Mama orang yang sangat sulit percaya pada orang lain, bahkan padaku, anaknya. Jelas sekali ku ingat, ketika pagi sebelum berangkat sekolah, aku selalu menolak sarapan. Lalu ia akan memberiku uang saku dan menyuruhku membeli sarapan di sekolah,
“Awas, kalo ga beli sarapan, nanti akan mama tanya ke teman-teman kamu!” nadanya mengancam seperti biasa. Aku bisa saja berkilah, dengan mengatakan sudah beli sarapan, dengan menyuruh teman-temanku berbohong,
“Kalo Mama tanya aku beli sarapan apa ngga, kamu jawab saja iya ya?” aku mengajukan kalimat dengan setengah memohon pada teman-teman yang ku pikir akan ditanya nantinya, Ulmi, Ayu, Fitri, dan Indah, rumah mereka lebih emeungkinkan didatangi daripada anak-anak yang lainnya.
Bagi mereka, kalimat itu jelas menggambarkan bahwa aku tengah dibawah ancaman, dan mereka langsung menolak permintaanku. Setelah dewasa aku sadar bahwa karakter anak-anak yang tidak mau berbohong kepada orang yang lebih tua sudah mulai hilang.
Sejak itu, aku harus mencari ‘saksi’ untuk setiap membeli sarapan di sekolah. Aku sengaja makan di kelas ketika ada Ayu, Ulmi, Fitri dan Indah. Aku sengaja teriak akan ke kantin ketika ada mereka, aku sengaja mengajak mereka yang sudah sarapan untuk mnemaniku membeli sarapan di knatin.
Karna aku pernah beli sarapan tanpa dilihat mereka berempat dan Mama bertanya padaku seperti biasa’
“Kamu beli sarapan?” aku mengangguk pasti, dengan tatapan ‘aku tidak bohong’. lalu Mama bilang, “Fitri bilang dia ga ngeliat kamu sarapan tuh,”
aku langsung gelagapan. Hal yang paling menakutkan ketika aku kecil adalah dianggap sebagai sebagai pembohong.
“Beneran kok, Ma. Orang tadi aku sarapan kelas masih sepi.”
“Masa?” selidik Mama, dengan mata menikam. AKu emngangguk cepat. lalu ia pergi ebgitu saja.
Beberapa tahun kemudian ketika aku mulai remaja, aku tau bahwa Mama sebenarnya tak pernah bertanya apapun pada siapapun. Ayu, Ulmi, Indah bahkan Fitri bingung ketika aku iseng bertanya bagaiama cara mama menanyakan mereka tentang aku beli sarapan apa tidak. Ketika hal ini kuungkit pada Mama, ia tersenyum kecil dan berkata, “karena Mama percaya sama Lila.”
Waktu kecil aku selalu menilai mama dengan apa yag ia lakukan padaku. Pemarah,cerewet dan tidak bisa berkompromi. Setelah dewasa aku mengerti beberapa hal yang kabur di mataku dulu. Aku mengerti kenapa mama seperti itu.
Mama bukanlah orang yang sempurna, ia tak sebaik malaikat ataupun seperti tokoh dongeng impianku. Tapi ia perempuan ajaib yang dengan kekurangan itu malah membuatku yakin bahwa ia mencintaiku dengan sempurna.
Komentar
Posting Komentar