KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam tak lupa kami haturkan kepada Nabi
besar Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya yang telah membawa kita pada
zaman yang penuh berkah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu penulis dalam proses penyusunan makalah ini, baik dari segi
material maupun spiritual, sehingga makalah ini dapat
selesai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Makalah
dengan judul “Biografi, Pemikiran, Karya dan Gerakan KH. Ahmad Dahlan”
ini disusun sebagai salah satu syarat penilaian kompetensi dasar pembuatan makalah dan
presentasi semester keempat pada mata kuliah Kepemimpinan Dakwah.
Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan penyusunan makalah.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Penyusun
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Sebagai salah satu organisasi
sosial keagamaan terbesar dan terpenting yang ada di Indonesia. Menyebut Muhammadiyah
yang berdiri pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan
tanggal 18 November 1912 M di Yogyakarta, tidak terlepas dari nama pendirinya,
KH.Ahmad Dahlan.
KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
islam berikut dengan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang keagamaan,
pendidikan, sosial budaya dan kesehatan, dengan tujuan “menegakkan dan
menjunjung tinggi ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya”. Alasan berdirinya Muhammadiyah yaitu: tidak murninya Islam
di Indonesia, pendidikan Islam tidak maju, kemiskinan rakyat, adanya misi
Kristen, umat islam bersifat fanatisme sempit, taklid buta, masih diwarnai
konservartisme, formalisme dan tradisionalisme.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah hidup dan
pemikiran KH Ahmad Dahlan?
2.
Bagaimana KH Ahmad Dahlan
memperoleh pendidikan?
3.
Apa saja karya dan
pemikirannya?
4.
Usaha apa saja dalam
mengenbangkan lembaga yang didirikannya?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui sejarah hidup
dan pemikiran KH Ahmad Dahlan
2.
Mengetahui darimana KH
Ahmad Dahlan memperoleh pendidikan
3.
Memahami dan mampu
menjelaskan karya dan pemikirannya
4.
Mengetahi usaha apa saja yang
dilakukan KH Ahmad Dahlan dalam mengenbangkan lembaga yang didirikannya.
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup KH.
Ahmad Dahlan
KH. Ahmad Dahlan lahir dikampung
Kauman, Yogyakarta, pada tanggal 1 agustus 1868. Ia adalah putera keempat dari
tujuh bersaudara. Adapun saudara Muhammad Darwis menurut urutannya adalah
1) Nyai Chatib Arum, 2) Nyai Muhsinah
(Nur), 3) Nyai H Sholeh, 4) Muhammad Darwis (KH. Ahmad Dahlan), 5) Nyai
Abdurrahman, 6) Nyai Muhammad Faqih (Ibu H. Ahmad Badawi), 7) Muhammad Basir,[1]
dari seorang ayah bernama KH. Abu Bakar bin Kiai Sulaiman- seorang ulama dan
khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu-dan
seorang ibu bernama Siti Aminah puteri dari H Ibrahim yang juga menjabat
penghulu Kasultanan Yogyakarta. Ahmad Dahlan semasa kecil dikenal dengan nama
Muhammad Darwis.[2]
Ia lahir dan tumbuh dalam
lingkungan yang sangat religius yang tinggi, yaitu masyarakata Kauman. Bahkan
dalam catatan sejarah, setelah Masjid Agung Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat
selesai dibangun, beberapa keraton yang ahli dalam masalah Islam diminta untuk
tinggal disekitar masjid dan diseahi tugas untuk memelihara dan memakmurkannya.[3]
Dari mereka inilah disebut-sebut sebagai cikal-bakal penduduk asli kampung
Kauman. Maka sangat wajar jika Ahmad Dahlan tumbuh menjadi seorang yang ahli
agama. Karena sejak kecil ia hidup dalam lingkunagn yang didasari agama yang
sangat kuat.
Latar Belakang Pendidikan
1.
Belajar dari Home
Schooling
Pada saat usianya memasuki usia
sekolah, Muhammad Darwis tidak disekolahkan di sekolah formal, melainkan diasuh
dan didik mengaji al-Quran dan dasar-dasar ilmu agama Islam oleh ayahnya
sendiri di rumah. pada usia delapan tahun ia telah lancer membaca al-Quran
hingga khatam. Tidak hanya itu, ia juga mempunyai keahlian membuat
barang-barang kerajinan dan mainan. Tapi, Dahlan kecil juga sangat senang
bermain gasing dan laying-layang, seperti anak laki-laki pada umumnya.[4]
2.
Belajar dari Guru ke
Guru
KH Ahmad Dahlan tidak pernah
merasa puas hanya dengan belajar dengan satu guru. Berbagai guru dari beragam
disiplin ilmu sudah ia temui. Guru-Guru KH. Ahmad Dahlan yaitu diantaranya:
a.
KH Abu Bakar (ayahnya)
b.
KH. Ahmad Sholeh (Kakak
Iparnya)
c.
Ilmu Fiqih (KH. Muchsin)
d.
Ilmu Nahwu (KH. Abdul
Hamid)
e.
Ilmu Falaq (KH. Raden
Dahlan dan Syeck Misri Mekkah)
f.
Ilmu Fiqih dan Hadis (Kiai
Mahfud)
g.
Ilmu Hadist (Syeck Khayyat
dan Sayyid Babussijjil)
h.
Qiroatul Quran (Syeckh Amin
dan Sayyid Bakri Syatha, Syekh Asyari Baceyan)
i.
Ilmu Pengobatan dan Racun
(Syeck Hasan)
KH Ahmad Dahlan juga bertemu dan berdialog dengan ulama dalam
negeri yang bermukim di Mekkah ketika berhaji, yaitu: Syekh Muhammad Khatib
Minangkabau, Kiai Nawawi Al-Bantatni, Kiai Mas Abdullah Surabaya, Kiai Faqih
(Pondok Mas Kumambang) Gresik, Syekh Jamil Jambek dari Minangkabau, kiai
Najrowi dari Banyumas.[5]
Selama di Mekkah itu, seorang gurunya yang bernama Syekh Bakri Syatha memberikan
nama baru kepada Muhammad Darwis, yaitu Ahmad Dahlan.[6]
Kitab-kitab yang beliau pelajari serta
mengilhami kehidupan dan perjuangannya adalah:
1.
Ahlu - sunah wal jama’ah
dalam ilmu aqaid
2.
Mazhab imam syafi’ie dalam
ilmu fiqih
3.
Imam ghozali dalam ilmu
tasawuf[7]
4.
Kitab Tauhid (Syeikh
Muhammad Abduh)
5.
Kitab Tafsir Juz Amma
(Syeikh Muhammad Abduh)
6.
Kitab Kanzul ‘Ulum (Gudang
Ilmu-ilmu)
7.
Kitab Dairatul Maarif (Farid
Wajdi)
8.
Kitab fil Bid’ah (Inbu
Taimiyah), diantaranya adalah At-Tawasul Wasilah karya Ibnu Taimiyah
9.
Kitab Islam wan
Nashraniyyah (Syeikh Muhammad Abduh)
10. Kitab Izzharul Haqq (Rahmatullah al-Hindi)
11. Kitab-kitab Hadist (Ulama Al-Hanbali)
12. Kitab-kitab Tafsir al-Manar (Sayyid Rasyid Ridha) dan majalah
Urwatus Wustqa
13. Tafshilun Nasjatain Tashilus Sahadatain
14. Matan al-Hikam Ibnu Athailah
15. Al-Qashaid ath-thasyiah Abdullah al-Aththas, dan lain-lain.[8]
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah,
sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan
Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah.
Dari pernikahannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang
anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah,
Siti Zaharah.
Di
samping itu Ahmad Dahlan pernah menikah dengan Nyai Abdullah, janda dari H.
Abdullah. Pernah juga menikah dengan Nyai Rumu (Bibi Prof. A. Kahar Muzakir)
adik kanjengan Penghulu Cianjur, dan konon ia juga pernah menikah dengan Nyai
Solikah putri kanjeng penghulu M. Syafii adiknya Kiai Yasin Pakualam Yogyakarta.[9]
B.
Usaha KH Ahmad
Dahlan Pembaharuan Pemikiran Islam
Pembaharuan
dalam kehidupan keagamaan bisa berupa pemikiran maupun gerakan, sebagai reaksi
atau tanggapan terhadap keyakinan dan urusan sosial umat islam. Ada dua
kecenderungan pembaharuan, yaitu salafi yang mengutamakan pemurnian ibadah dan
akidah dari bid’ah, khurahat, tahayul dan syirik, maupun kecenderungan kearag modernism.
Kecenderungan kedua adalah reformis/modernis,
gerakan ini mengarah pada pembaharuan bidang pendidikan , politik, sosial,
budaya, mengangkat harkat martabat kaum wanita.[10]
KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah
pada 18 Nopember 1912 di Yogyakarta, yang bergerak dibidang keagamaan,
pendidikan, sosial budaya dan kesehatan.[11]
Muhammdiyah berdiri setelah organisasi islam sebelumnya tidak lagi menunjukkan
aktifitasnya, yakni Jami’atul Khair (Didirikan oleh orang-orang Arab) dan
Al-Irsyad (Keduanya hanya bergerak dibidang pendidikan). Sebelumnya pada 1909
KH Ahmad Dahlan juga memasuki perkumpulan Budi Utomo, satu-satunya organisasi
yang ditata secara modern pada waktu itu. Ia mengharapkan agar ia dapat
memberikan pelajaran agama kepada para anggota perkumpulan itu, dan selanjutnya
mereka akan meneruskannya ke kantor dan sekolah masing-masing. Demikian juga ia
mengharapkan agar guru-guru yang telah mendengar ceramahnya selanjutnya
menyampaikannya lagi kepada muridnya masing-masing.[12]
Ceramah Ahmad
Dahlan kepada para anggota Budi Utomo mendapat tanggapan positif dan mereka
menyarankan agar Ahmad Dahlan mendirikan sekolah yang teratur secara
organisatoris dan sesuai dengan sekolah modern. Saran ini kemudian berhasil
dipenuhi pada tahun 1911 dengan mendirikan sekolah dengan sistem sebagaiman
sekolah Belanda, bukan lagi belajar di surau. Di sekolah ini, yang diajarkan
bukan saja ilmu-ilmu agama, melainkan juga ilmu-ilmu umum seperti berhitung,
ilmu bumi dan ilmu tubuh manusia. Murid perempuan-perempuan tidak lagi
dipisahkan dari murid laki-laki, sebagaimana di surau-surau.[13]
Alasan berdirinya Muhammadiyah
yaitu: tidak murninya Islam di Indonesia, pendidikan Islam tidak maju,
kemiskinan rakyat, adanya misi Kristen, umat islam bersifat fanatisme sempit,
taklid buta, masih diwarnai konservartisme, formalism dan tradisionalisme.
Sebenarnya
usaha pemabaruan KH. Ahmad Dahlan sudah dimulai sejak 1896, yaitu:
1.
Mendirikan surau dengan
arah kiblat yang benar dan berlanjut membuat garis shaf di Masjid Agung, yang
akibatnya tidak hanya garis shaf harus dihapus, tapi suraunya di bongkar.
2.
Menganjurkan supaya
berpuasa menurut dan berhari raya menurut hisab
3.
Penolakan terhadap bid’ah
dan khufarat
Menurut KH Ahmad Dahlan upaya strategis untuk menyelamatkan
umat islam dari pola pikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis
adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu pendidikan hendaknya ditempatkan
pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat.
Mereka
hendaknya dididik agar cerdas, kritis dan memiliki daya analisis yang tajam
dalam memeta dinamika kehidupannya pada masa depan. Adapun kunci untuk
meningkatkan kemajuan umat islam adalah kembali kepada al-Quran dan hadits.
Mengarahkan umat pada pengembangan ajaran islam secara komprehensif, menguasai
berbagai disiplin ilmu pegetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan
melalui pendidikan. Kemudian Ahmad Dahlan secara pribadi merintis pembentukan
sebuah sekolah yang memadukan pengajaran ilmu agama islam dan umum.[14]
C.
Resistensi dengan Kaum Tradisional dan Relasi
dengan Organisasi Budi Utomo dan Syarekat Islam
Ahmad Dahlan mulai menyampaikan ide-ide baru yang lebih mendasar, seperti
persoalan arah kiblat salat yang sebenarnya. Akan tetapi, ide baru ini tidak
begitu saja bisa dilaksanakan seperti yang diajarkan di serambi masjid besar
karena mempersoalkan arah kiblat salat merupakan suatu hal yang sangat peka
pada waktu itu. Ahmad Dahlan memerlukan waktu hampir satu tahun untuk
menyampaikan masalah ini. Itu pun hanya terbatas pada para ulama yang sudah
dikenal dan dianggap sepaham di sekitar Kampung Kauman. Pada satu malam pada
tahun 1898, Ahmad Dahlan mengundang 17 orang ulama yang ada di sekitar kota
Yogyakarta untuk melakukan musyawarah tentang arah kiblat di surau milik
keluarganya di Kauman.
Diskusi antara para ulama yang telah mempersiapkan diri dengan berbagai
kitab acuan ini berlangsung sampai waktu subuh, tanpa menghasilkan kesepakatan.
Akan tetapi, dua orang yang secara diam-diam mendengar pembicaraan itu beberapa
hari kemudian membuat tiga garis putih setebal 5 cm di depan pengimaman masjid
besar Kauman untuk mengubah arah kiblat sehingga mengejutkan para jemaah salat
dzuhur waktu itu. Akibatnya, Kanjeng Kyai
Penghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus tanda
tersebut dan mencari orang yang melakukan itu. Sebagai realisasi dari ide
pembenahan arah kiblat tersebut, Ahmad Dahlan yang merenovasi surau milik
keluarganya pada tahun 1899 mengarahkan surau tersebut ke arah kiblat yang
sebenarnya, yang tentu saja secara arsitektural berbeda dengan arah masjid
besar Kauman. Setelah dipergunakan beberapa hari untuk kegiatan Ramadhan, Ahmad
Dahlan mendapat perintah dari Kanjeng Penghulu untuk membongkar surau tersebut,
yang tentu saja ditolak. Akhirnya, surau tersebut dibongkar secara paksa pada
malam hari itu juga. Walaupun diliputi perasaan kecewa, Ahmad Dahlan membangun
kembali surau tersebut sesuai dengan arah masjid besar Kauman setelah berhasil
dibujuk oleh saudaranya, sementara arah kiblat yang sebenarnya ditandai dengan
membuat garis petunjuk di bagian dalam masjid.
Setelah pulang dari menunaikan ibadah haji kedua, aktivitas
sosial-keagamaan Ahmad Dahlan di dalam masyarakat di samping sebagai Khatib
Amin semakin berkembang. Ia membangun pondok untuk menampung para murid yang
ingin belajar ilmu agama Islam secara umum maupun ilmu lain seperti: ilmu
falaq, tauhid, dan tafsir. Para murid itu tidak hanya berasal dari wilayah
Residensi Yogyakarta, melainkan juga dari daerah lain di Jawa Tengah. Walaupun begitu, pengajaran agama Islam
melalui pengajian kelompok bagi anak- anak, remaja, dan orang tua yang telah
lama berlangsung masih terus dilaksanakan. Di samping itu, di rumahnya Ahmad
Dahlan mengadakan pengajian rutin satu minggu atau satu bulan sekali bagi
kelompok-kelompok tertentu, seperti pengajian untuk para guru dan pamong praja
yang berlangsung setiap malam Jum`at.[15]
Pembentukan ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat
dipisahkan dari proses sosialisasi dirinya sebagai pedagang dan ulama serta
dengan alur pergerakan sosial- keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang sedang
berlangsung di Indonesia pada awal abad XX. Sebagai seorang pedagang sekaligus
ulama, Ahmad Dahlan sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Residensi
Yogyakarta maupun daerah lain seperti: Periangan, Jakarta, Jombang, Banyuwangi,
Pasuruan, Surabaya, Gresik, Rembang, Semarang, Kudus, Pekalongan, Purwokerto,
dan Surakarta. Di tempat-tempat itu ia bertemu dengan para ulama, pemimpin
lokal, maupun kaum cerdik cendekia lain, yang sama-sama menjadi pedagang atau
bukan.
Dalam pertemuan-pertemuan itu mereka berbicara tentang masalah agama Islam
maupun masalah umum yang terjadi dalam masyarakat, terutama yang secara
langsung berhubungan dengan kemunculan, kestatisan, atau keterbelakangan
penduduk Muslim pribumi di tengah- tengah masyarakat kolonial. Dalam konteks
pergerakan sosial keagamaan, budaya, dan kebangsaan, hal ini dapat diungkapkan
dengan adanya interaksi personal maupun formal antara Ahmad Dahlan dengan
organisasi seperti : Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Jamiat Khair, maupun
hubungan formal antara organisasi yang ia cirikan kemudian, terutama dengan
Budi Utomo.
Secara personal Ahmad Dahlan mengenal organisasi Budi Utomo melalui
pembicaraan atau diskusi dengan Joyosumarto, seorang anggota Budi Utomo di
Yogyakarta yang mempunyai hubungan dekat dengan dr. Wahidin Sudirohusodo, salah
seorang pimpinan Budi Utomo yang tinggal di Ketandan Yogyakarta. Melalui
Joyosumarto ini kemudian Ahmad Dahlan berkenalan dengan dr. Wahidin
Sudirohusodo secara pribadi dan sering menghadiri rapat anggota maupun pengurus
yang diselenggarakan oleh Budi Utomo di Yogyakarta walaupun secara resmi ia
belum menjadi anggota organisasi ini. Setelah banyak mendengar tentang
aktivitas dan tujuan organisasi Budi Utomo melalui pembicaraan pribadi dan
kehadirannya dalam pertemuan -pertemuan resmi, Ahmad Dahlan kemudian secara
resmi menjadi anggota Budi Utomo pada tahun 1909.[16]
Dalam perkembangan selanjutnya, Ahmad Dahlan tidak hanya menjadi anggota
biasa, melainkan ia menjadi pengurus kring Kauman dan salah seorang komisaris
dalam kepengurusan Budi Utomo Cabang Yogyakarta. Sementara itu, pada sekitar
tahun 1910 Ahmad Dahlan juga menjadi anggota Jamiat Khair, organisasi Islam
yang banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah
orang-orang Arab. Keterlibatan secara langsung di dalam Budi Utomo memberi
pengetahuan yang banyak kepada Ahmad Dahlan tentang cara berorganisasi dan
mengatur organisasi secara modern.
Sementara itu, walaupun Ahmad Dahlan tidak terlibat secara aktif di dalam
Jamiat Khair, selain belajar berorganisasi secara modern di kalangan orang
Islam, ia juga mendapat pengetahuan tentang kegiatan sosial, terutama yang
berhubungan dengan pendirian dan pengelolaan lembaga pendidikan model sekolah.
Semua ini tentu saja merupakan suatu hal yang baru dan sangat berpengaruh bagi
langkah-langkah yang dilakukan Ahmad Dahlan pada masa selanjutnya, seperti
pendirian sekolah model Barat maupun pembentukan satu organisasi.
Sebagai pengurus Budi Utomo, aktivitas Ahmad Dahlan tidak hanya terbatas
pada hal-hal yang berhubungan langsung dengan masalah organisasi. Ia sering
memanfaatkan forum pertemuan pengurus maupun anggota Budi Utomo sebagai tempat
untuk menyampaikan informasi tentang agama Islam, bidang yang sangat ia kuasai.
Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah acara resmi selesai. Kepiawaian Ahmad
Dahlan dalam menyampaikan informasi tentang agama Islam dalam berbagai
pertemuan informal itu telah menarik perhatian para pengurus maupun anggota
Budi Utomo yang sebagian besar terdiri dari pegawai pemerintah dan guru
sehingga sering terjadi diskusi yang menarik di antara mereka tentang agama
Islam.
Di antara pengurus dan anggota Budi Utomo yang tertarik pada masalah agama
Islam adalah R. Budiharjo dan R. Sosrosugondo, yang pada saat itu menjabat
sebagai guru di Kweekschool Jetis. Melalui jalur dua orang guru ini Ahmad
Dahlan mendapat kesempatan mengajar agama Islam kepada para siswa Kweekschool
Jetis, setelah kepala sekolah setuju dan memberikan izin. Pelajaran agama Islam di sekolah guru milik
pemerintah itu diberikan di luar jam pelajaran resmi, yang biasanya dilakukan
pada setiap hari Sabtu sore.
Dalarn mengajarkan pengetahuan agama Islam secara umum maupun membaca
Quran, Ahmad Dahlan menerapkan metode pengajaran yang disesuaikan dengan
kemampuan siswa sehingga mampu menarik perhatian para siswa untuk menekuninya.
Tentu saja sebagian siswa merasa bahwa waktu pelajaran agama Is1am pada hari
Sabtu sore itu belum cukup. Oleh sebab itu, beberapa orang siswa, termasuk
mereka yang belum beragama Islam sering datang ke rumah Ahmad Dahlan di Kauman
pada hari Ahad untuk bertanya maupun melakukan diskusi lebih lanjut tentang
berbagai persoalan yang berhubungan dengan agama Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengalaman berorganisasi di Budi Utomo dan
Jamiat Khair memberikan pelajaran kepada siswa Kweekschool dan didukung oleh
perkembangan pendapat masyarakat umum pada waktu itu yang mulai menyadari bahwa
pendidikan merupakan salah satu sarana yang penting bagi kemajuan penduduk
pribumi. Dalam berbagai kesempatan Ahmad Dahlan menyampaikan ide pendirian
sekolah yang mengacu pada metode pengajaran seperti yang berlaku pada sekolah
milik pemerintah kepada berbagai pihak, termasuk kepada para santri yang
belajar di Kauman maupun penduduk Kauman secara umum. Sebagian besar dari
mereka bersikap acuh tak acuh, bahkan ada yang secara tegas menolak ide
pendidikan sistem sekolah tersebut karena dianggap bertentangan dengan tradisi
dalam agama Islam.
Akibatnya, para santri yang selama ini belajar kepada Ahmad Dahlan satu
per-satu berhenti. Walaupun belum mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya,
Ahmad Dahlan tetap berkeinginan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang menerapkan
model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu pengetahuan umum.
Sekolah tersebut dimulai dengan 8 orang siswa, yang belajar di ruang tamu rumah
Ahmad Dahlan yang berukuran 2,5 m x 6 m dan ia bertindak sendiri sebagai guru.
Keperluan belajar dipersiapkan sendiri oleh Ahmad Dahlan dengan memanfaatkan
dua buah meja miliknya sendiri. Sementara itu, dua buah bangku tempat duduk
para siswa dibuat sendiri oleh Ahmad Dahlan dari papan bekas kotak kain mori
dan papan tulis dibuat dari kayu suren.
Delapan orang siswa pertama itu merupakan santrinya yang masih setia, serta
anak-anak yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ahmad Dahlan. Pendirian
sekolah tersebut ternyata tidak mendapat sambutan yang baik dari masyarakat
sekitarnya kecuali beberapa orang pemuda. Pada tahap awal proses belajar
mengajar belum berjalan dengan lancar. Selain ada penolakan dan pemboikotan
masyarakat sekitarnya, para siswa yang hanya berjumlah 8 orang itu juga sering
tidak masuk sekolah. Untuk mengatasi hal tersebut, Ahmad Dahlan tidak
segan-segan datang ke rumah para siswanya dan meminta mereka masuk sekolah
kembali, di samping ia terus mencari siswa baru. Seiring dengan pertambahan
jumlah siswa, Ahmad Dahlan juga menambah meja dan bangku satu per satu sehingga
setelah berlangsung enam bulan jumlah siswa menjadi 20 orang.
Ketika pendirian sekolah tersebut dibicarakan dengan anggota dan pengurus
Budi Utomo serta para siswa dan guru Kweekschool Jetis, Ahmad Dahlan mendapat
dukungan yang besar. Di antara para pendukung itu adalah : Mas Raji yang
menjadi siswa, R. Sosro Sugondo, dan R. Budiarjo yang menjadi guru di
Kweekschool Jetis sangat membantu Ahmad Dahlan mengembangkan sekolah tersebut
sejak awal.
R. Budiharjo yang bersama-sama Ahmad Dahlan menjadi pengurus Budi Utomo
Yogyakarta banyak memberikan Saran tentang penyelenggaraan sebuah sekolah
sesuai dengan pengalamannya menjadi kepala sekolah di Kweekschool Jetis. Ia
juga menyarankan kepada Ahmad Dahlan untuk meminta subsidi kepada pemerintah
jika sekolah yang didirikan itu sudah teratur, dengan dukungan dari Budi Utomo.
Selain itu, pendirian sekolah itu juga mendapat dukungan dari kelompok
terpelajar yang berasal dari luar Kauman serta para siswa Kweekschool Jetis
yang biasa datang ke rumahnya pada setiap hari Ahad.
Sebagai realisasi dari dukungan Budi Utomo, organisasi ini menempatkan
Kholil, seorang guru di Gading untuk mengajar ilmu pengetahuan umum pada sore
hari di sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan. Oleh sebab itu, para siswa masuk
dua kali dalam satu hari karena Ahmad Dahlan mengajar ilmu pengetahuan agama
Islam pada pagi hari. Walaupun masih mendapat tantangan dari beberapa pihak,
jumlah siswa terus bertambah sehingga Ahmad Dahlan harus memindahkan ruang
belajar ke tempat yang lebih luas di serambi rumahnya.
Akhirnya setelah proses belajar mengajar semakin teratur, sekolah yang
didirikan oleh Ahmad Dahlan itu diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911 dan
diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan, sekolah
itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian dilaporkan bahwa terdapat
62 orang siswa yang belajar di sekolah itu. Sebagai lembaga pendidikan yang
baru saja terbentuk, sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan memerlukan
perhatian lebih lanjut agar dapat terus dikembangkan.
D.
Sikap Kraton dan Reaksi Hindia Belanda Terhadap
Berdirinya Muhammadiyah
Dalam satu kesempatan untuk mendapatkan dukungan dalam rangka merealisasi
ide pembentukan sebuah organisasi, Ahmad Dahlan melakukan pembicaraan dengan
Budiharjo yang menjadi kepala sekolah di Kweekschool Jetis dan R. Dwijosewoyo,
seorang aktivis Budi utomo yang sangat berpengaruh pada masa itu. Pembicaraan
tersebut tidak hanya terbatas pada upaya mencari dukungan, melainkan juga sudah
difokuskan pada persoalan nama, tujuan, tempat kedudukan, dan pengurus
organisasi yang akan dibentuk. Berdasarkan pembicaraan-pembicaraan yang
dilakukan didapatkan beberapa ha1 yang berhubungan secara langsung dengan
rencana pembentukan sebuah organisasi.
Pertama, perlu didirikan sebuah organisasi baru di Yogyakarta. Kedua, para
siswa Kweekschool tetap akan mendukung Ahmad Dahlan, akan tetapi mereka tidak
akan menjadi pengurus organisasi yang akan didirikan karena adanya larangan
dari inspektur kepala dan anjuran agar pengurus supaya diambil dari orang-orang
yang sudah dewasa. Ketiga, Budi Utomo akan membantu pendirian perkumpulan baru
tersebut. Pada bulan-bulan akhir tahun 1912 persiapan pembentukan sebuah
perkumpulan baru itu dilakukan dengan lebih intensif, melalui
pertemuan-pertemuan yang secara ekplisit membicarakan dan merumuskan masalah
seperti nama dan tujuan perkumpulan, serta peran Budi Utomo dalam proses
formalitas yang berhubungan dengan pemerintah Hindia Belanda.
Walaupun
secara praktis organisasi yang akan dibentuk bertujuan untuk mengelola sekolah
yang telah dibentuk lebih dahulu, akan tetapi dalam pembicaraan-pembicaraan
yang dilakukan selanjutnya tujuan pembentukan organisasi itu berkembang lebih
luas, mencakup penyebaran dan pengajaran agama Islam secara umum serta
aktivitas sosial lainnya. Anggaran dasar organisasi ini dirumuskan dalam bahasa
Belanda dan bahasa Melayu, yang dalam penyusunannya mendapat bantuan dari R.
Sosrosugondo, guru bahasa Melayu di Kweekscbool Jetis.
Organisasi yang akan dibentuk itu diberi nama "Muhammadiyah",
nama yang berhubungan dengan nama nabi terakhir Muhammad SAW."'
Berdasarkan nama itu diharapkan bahwa setiap anggota Muhammadiyah dalam
kehidupan beragama dan bermasyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pribadi
Nabi Muhammad SAW dan Muhammadiyah menjadi organisasi akhir zaman. Sementara
itu, Ahmad Dahlan berhasil mengumpulkan 6 orang dari Kampung Kauman, yaitu:
Sarkawi, Abdulgani, Syuja, M. Hisyam, M. Fakhruddin, dan M. Tamim untuk menjadi
anggota Budi Utomo dalam rangka mendapat dukungan formal Budi Utomo dalam proses
permohonan pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda terhadap pembentukan
Muhammadiyah.
Setelah seluruh persiapan selesai, berdasarkan kesepakatan bersama dan
setelah melakukan shalat istikharah akhirnya pada tanggal 18 November 1912 M
atau 8 Dzulhijjah 1330 H persyarikatan Muhammadiyah didirikan. Dalam
kesepakatan itu juga ditetapkan bahwa Budi Utomo Cabang Yogyakarta akan membantu
mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar pembentukan
Muhammadiyah diakui secara resmi sebagai sebuah badan hukum. Pada hari Sabtu
malam, tanggal 20 Desember 1912, pembentukan Muhammadiyah diumumkan secara
resmi kepada masyarakat dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh tokoh
masyarakat, pejabat pemerintah kolonial, maupun para pejabat dan kerabat Kraton
Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman.
Pada saat yang sama, Muhammadiyah yang dibantu oleh Budi Utomo secara resmi
mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakui
Muhammadiyah sebagai suatu badan hukum. Menurut anggaran dasar yang diajukan
kepada pemerintah pada waktu pendirian, Muhammadiyah merupakan organisasi yang
bertujuan menyebarkan pengajaran agama Nabi Muhammad SAW kepada penduduk
bumiputra di Jawa dan Madura serta memajukan pengetahuan agama para anggotanya.
Pada waktu itu terdapat 9 orang pengurus inti, yaitu: Ahmad Dahlan sebagai
kctua, Abdullah Sirat sebagai sekretaris, Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi,
Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih sebagai anggota. Sementara itu,
para anggota hanya dibatasi pada penduduk Jawa dan Madura yang beragama Islam
E.
Karya-karya dan
Lembaga yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan
1.
Sekolah Calon Guru,
“Al-Qismul Arqa’”
2.
Sekolah Ibtidaiyah Diniyah
Islamiyah (Setaraf dengan Volkschool)
3.
Dalam buku Islamic
Movement in Indonesia, yang diterbitkan Pusat ,Muhammadiyah, diungkapkan
bahwa jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah dari TK-Perguruan Tnggi tidak
kurang dari 9500 unit.[17]
4.
Mencetak selebaran berisi
doa sehari-hari, jadwal sholat, jadwal puasa ramadhan, dan masalah agama islam
lainnya.[18]
5.
Menerbitkan buku-buku
meliputi masalah fiqih, akaid, tajwid, hadist, sejarah Para Nabi dan Rasul dan
terjemahan ayat-ayat al-Quran mengenai akhlak dan hukum.
6.
Menerbitkan terjemahan
bku-buku untuk pengajian tingkat lanjut bagi orang tua, seperti Maksiat
Anggota yang Tujuh dari Ihyaul Ulumiddin karya Al- Ghazali.
7.
Terbitan lainnya yaitu, Rukuning
Islan lan Iman, Aqaid, Salat, Asmaning Para Nabi kang selangkung, Nasab Dalem
Sarta Putra Dalem Kanjeng Nabi, Sarat lan Rukuning Wudhu Tuwin salat,Rukun lan
Bataling Shiyam, Bab Ibadah lan Maksiyating Nggota utawi Poncodriyo, serta
tulisan syeikh Abdul Karim Amrullah di dalam sejarah Al-Munir yang di termahkan
ke dalam bahasa jawa.[19]
8.
Panti Asuhan Yatim Piatu
(PAYP), Khusus PAYP putra diasuh oleh Muhammadiyah, sedangkan PAYP putri diasuh
oleh Aisyiah.
9.
Majlis Pembina Kesehatan
dan Majlis Penegmbanagan Masyarakat.
10. Ikatan Seniman dan Budayawan Muhammadiyah (ISBM), namun ada
kendala dalam lemabag ini baik kurangnya dukungan dari ulama ataupun kondisi
politik yang kurang kondusif. Namun, berdasarkan keputusan Munas tarjih ke-22
tahun 1995 ditetapkan bahwa seni hukumnya mubah selama tidak mengakibatkan
kerusakan, bahaya, kedurhakaan, dan terjauhkan dari Allah.
11. Majlis Ekonomi Muhammadiyah
Organisasi Otonom Muhammadiyah
1.
Aisyiah
2.
Pemuda Muhammadiyah
3.
Nasyiatul Aisyiah
4.
Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah
5.
Ikatan Remaja Muhammadiyah
6.
Tapak Suci Putra
Muhammadiyah
7.
Hizbul Wathon
F.
Usaha KH. Ahmad
Dahlan dalam Mengatur Lembaga yang Didirikannya (Muhammadiyah)
Strategi yang dilakukan KH Ahmad Dahlan untuk mengatur
Lembaga yang didirikannya ialah:[20]
1.
Semua bentuk kegiatan
Muhammadiyah harus mengarah pada terlaksananya maksud dan tujuan persyarikatan
dan menjalankan misi utama Muhammadiyah dengan sebaik-baiknya sebagai misi
dakwah
2.
Pimpinan lembaga
Muhammadiyah diangkat dan diberhentikan oleh pimpinan persyarikatan dalam kurun
waktu tertentu.
3.
Pimpinan Lemabga
Muhammadiyah adalah anggota Muhammadiyah yang mempunyai keahlian tertentu
dibidang lembaga tersebut, agar yang bersangkutan memahami betul apa fungsi
lembaga tersebut bagi persyarikatan dan bukan semata-mata untuk mencari nafkah
4.
Pimpinan lembaga
Muhammadiyah berkewajiban melaporkan pengelolaan lembaga yang menjadi tanggung
jawabnya.
5.
Usaha mendapat pengakuan
Badan hukum dari Pemerintah.
6.
Untuk lembaga sekolah, metode
pengajaran tidak hanya menekankan pemahaman secara teoritis namun juga sangat
memperhatikan pada hal-hal yang bersifat praktis.
PENUTUP
Kesimpulan
KH. Ahmad Dahlan lahir dikampung Kauman, Yogyakarta, pada
tanggal 1 agustus 1868. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara. Lahir
di lingkungan sangat religius. Memperoleh pendidikan dengan cara homeschooling
dan setelah dewasa menimba ilmu dari satu guru ke guru yang lain karena KH
Ahmad Dahlan tidak pernah merasa puas hanya dengan satu guru.
Mendirikan
organisasi islam, Muhammadiyah pada 18 Nopember 1912 di Yogyakarta, berangkat
dari keprihatinnanya pada islam di Indonesia yang terselubungi dengan syirik
dan khufarat.
Menurut KH
Ahmad Dahlan upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola pikir
yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Oleh
karena itu, pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam
proses pembangunan umat.
DAFTAR PUSTAKA
Junus Salam, K.H
Ahmad Dahlan dan Perjuangannya, (Tangerang: Al-Wasat Publising.2009).
Hery
Sucipto, KH. Ahmad Dahlan, Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah.
(Jakarta: Best Media Umat,2010)
Sudarno
Shobron, Studi Kemuhammadiyahan (Surakarta: LPID Univ. Muhammadiyah
Surakarta.2008)
Pembaruan Sosial
Keagamaan, (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara.2010).
Weinata
Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1995)
M. Sukardjo & Ukim
Komarudin, Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya (Jakarta: Raja
Grafindo Press,2009)
Majelis
Diktiltbang dan LPI PP Muhammadiyah, Satu Abad Muhammadiyah; Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.2010). H.
45
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)
M. Sukardjo & Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan
Konsep dan Aplikasinya (Jakarta: Raja Grafindo Press,2009)
[1]
Junus Salam, K.H Ahmad Dahlan dan Perjuangannya, (Tangerang: Al-Wasat
Publising.2009). Hal. 57
[2]
Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan, Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri
Muhammadiyah. (Jakarta: Best Media Umat,2010). H. 49.
[3]
Ibid. H. 50
[4]
Ibid. H. 57
[5]
Majelis Diktiltbang dan LPI PP Muhammadiyah, Satu Abad Muhammadiyah; Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.2010). H.
17
[6]
Weinata Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1995). H. 97
[7]
Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan, Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri
Muhammadiyah. (Jakarta: Best Media Umat,2010). H. 61
[8]
Junus Salam, K.H Ahmad Dahlan dan Perjuangannya, (Tangerang: Al-Wasat
Publising.2009). Hal. 59
[9]
http://www.muhammadiyah.or.id/ di
akses 8 maret 2015
[10]
Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan (Surakarta: LPID Univ.
Muhammadiyah Surakarta.2008). H. 2
[11]
Ibid. Hal 27
[12]
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam
Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 94
[13]
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 99
[14]
M. Sukardjo & Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya
(Jakarta: Raja Grafindo Press,2009). H. 112
[15]
http://muhammadiyah.or.id// diakses 12
maret 2015
[16]
Majelis Diktiltbang dan LPI PP Muhammadiyah, Satu Abad Muhammadiyah; Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.2010). H.
21
[17]
Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan (Surakarta: LPID Univ.
Muhammadiyah Surakarta.2008). H. 153
[18]
Majelis Diktiltbang dan LPI PP Muhammadiyah, Satu Abad Muhammadiyah; Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.2010). H.
39
[19]Majelis
Diktiltbang dan LPI PP Muhammadiyah, Satu Abad Muhammadiyah; Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.2010). H.
45
[20]
Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan (Surakarta: LPID Univ.
Muhammadiyah Surakarta.2008). H. 206
Pos Tokoh yang lainnnya juga yah.
BalasHapusYang Kaya KH Hasyim Asyari, Buya Hamka dan lainnya
dari blog ini sama blog lain isinya sama. kurang kreatif
BalasHapus