Photo by pixabay.com |
Judul
🌹 *QIA*🌹
"Udah 5 taun kita sama-sama, kamu ga ada niat buat lamar aku?"
Femas menatap aku lekat-lekat. Aku paham dia kaget karna tiba-tiba menanyakan hal itu.
Alisnya naik sebelah, seolah bertanya, "tumben?"
Aku mengalihkan pandangan, kususun kalimat bagaimana agar ucapanku tidak menyinggungnya,
"Yaa.. 5 taun itu kan ga sebentar, Ay. Aku udah mulai nabung buat nanti, kamu kapan?"
Femas yg sedari tadi sibuk maen game menghentikan maen gamenya.
"Oo kamu mau pamer kalo kerjaan kamu udah bagus, makanya bisa nabung. Sedangkan aku yg meski lulus bareng tapi masih nganggur, begitu?" aku gelagapan,
"Bukan begitu maksud aku," aku bingung menyusun kata-kata yang tidak membuatnya marah. "Maaf ya kalo aku salah ngomong," kataku pada akhirnya.
Femas mengajakku pulang. Sudah kuduga dia badmood gara-gara pembahasan dadakan itu.
###
Pagi itu hari libur. Mama Femas datang seperti biasa mmbawakan makanan ke kost. Aku merantau sejak kuliah dri luar kota. Ibu Femas mengurusku dengan baik. Suka bawa makanan di hari libur. Tapi, tumben hari ini Femas tidak ikut mengantar, mungkin masih marah sama kejadian waktu itu.
"Femasnya ga ikut, Bu?"
Ibu tidak langsung menjawab, dia menungguku selesai membuat teh.
"Kalian berantem?"
Meski sering terjadi, aku masih tidak terbiasa dengan Ibu yg selalu tau masalah kami. Femas selalu cerita apapun kepadanya.
"Sedikit," jawabku kemudian.
"Qia sabar sedikit lagi ya, Femas bukannya ga mau kerja, belom ada yg cocok aja. Qia mah enak kerja dri magang lanjut sampe lulus. Sabar dikit ya neng, bentar lagi pasti dia kerja kok," ujarnya.
"Kemaren saya kasi tau lowongan di tempat saya kerja, tapi beda cabang, Femas ga cerita?"
"Ooo yg itu Ibu ga setuju, atasan kamu katanya galak ya, kmu kan sering cerita ke Femas,"
Aku sedikit kaget dengan jawaban Ibu,
"Tapi, kan beda cabang Bu, atasannya beda orang. Atasan saya juga ga seseram itu kok,"
Ibu menggeleng,
"Ga ada jaminan atasannya ga galak kan? Jangan kerja yg di omel-omelin kasian dia hatinya lembut,"
Aku mengangguk-angguk meski ga paham sama jalan pikiran Ibu Femas.
"Belakangan sih jarang liat lowongan di sekitar saya, Bu."
"Iya sambil liat-liat juga Qia. Yg sesuai sama jurusannya Femas. Kemaren ada tetangga nawarin, kerjaannya berat panas-panasan lagi. Kita kan sebagai orang tua mau yg terbaik ya, sekolahin anak tinggi2 biar hidupnya bagus. Ditawarin malah kerjaan begitu," jelasnya panjang lebar.
Hatiku tersentil ga abis pikir dengannya.
Kini aku paham kenapa Femas juga ga pusing2 nyari kerja bahkan setelah 3 tahun lulus, malah asik maen games sama nongkrong saja kerjaannya. Ada yg mendukung penuh kebiasaannya itu. Selama Femas senang dan tidak merasa susah. Ya, itu yg terbaik menurut Ibunya.
.
"Maaf, Bu.. Apa ga sebaiknya kerja yg ada aja dulu, minimal jdi pengalaman kan buat Femas. Atau buka usaha karna sepertinya Femas (Anda) ada modal untuk itu," Aku ga pernah membahas masalah seperti ini dengan Femas, krna dia sensitif dan pasti tersinggung.
"Kalo usaha mau usaha apa, lagian kalopun ada usaha ga ada jaminan laku terus kan, kalo misal bangkrut gimana neng? Takutnya malah jadi hamburin duit,"
Aku tersenyum kecil.
"Sabar aja Qia, Ibu selalu doain semoga Femas dapet kerja yg ga berat, ga cape dan ga diomel2in, bantu aminin ya, neng," Katanya kemudian pamit pulang. Aku menghela nafas panjang.
###
Sejak saat itu aku bertekad tidak menghubungi Femas duluan. Cape juga ngalah melulu utk alasan remeh yg berulang.
Sampe seminggu kemudian baru ada telfon darinya, pas jam makan siang kantor,
"Apa kabar sayang? Lagi istirahat ya?" tanyanya seperti tidak pernah terjadi apa2.
"Iya nih," jawabku singkat.
"Kok tumben ga ngubungin aku, ga kangen apa?" katanya
"Aku mau makan dulu ya,"
"Maksudnya udah mau dimatiin?"
"Kan mau makan,"
"Biasanya kamu nunggu nanti makannya. Tumben lngsung matiin?"
Aku menarik nafas dalam-dalam.
"Kan aku kerja makanya laper. Dah ya.. Babai"
Tak kupedulikan lagi langsung ku tutup telfonnya.
###
Benar dugaanku. Jam pulang kantor aku melihatnya sudah menunggu di depan gedung. Wajahnya memang memasang senyum, tapi rautny penuh curiga.
"Kok tau-tau disini?" tanyaku.
"kamu pulang sama siapa?" Tanyany penuh selidik tak menghiraukan prtanyaanku.
"Mau pesen ojol," jawabku.
"Sama aku aja,"
"Oke," jawabku setengah malas.
Aku tak banyak bicara sampe tiba di kost.
"Kamu kenapa si, ngambek?" Tanya Femas.
Aku menautkan alis,
"Bukanny kmu yg ngambek?"
Dia memijat pelan pelipisnya,
"Ibu aku yg bilang begitu?" aku tak mnjawab.
"Kalo kamu ngambek karna masalah waktu itu, oke aku minta maaf. Tapi kamu kan tau sendiri nyari kerjaan itu ga gampang, ngga yang ngasi lamaran langsung keterima,"
Aku mengangguk2.
"Sabar dikit dong, aku serius kok sama kamu. Pasti akan aku lamar kalo udah waktunya, kamu percaya aku kan?"
Tanyanya. Matanya penuh harap.
Aku trsenyum kecil,
"Aku ga akan bahas itu lagi kok,"
Femas malah mengerutkan kening,
"Ya, bukannya aku gamau bahas, cuma kan ya gitu belom waktunya..."
"Paling ngga, sampe kamu bisa brtanggungjawab sama diri kamu sendiri,"
"Maksudny?"
"Dari sedikit obrolan sama Ibu kmu kemaren aku mulai paham masalahny dimana. Itu krna kamu blom bisa brtanggungjwab sama diri kmu sendiri. Jadi mana mungkin aku minta kmu tanggungjwab sama diri aku, ya kan?"
"Siapa bilang aku ga brtanggungjawab?" kata Femas.
Aku menepuk lembut lengannya,
"Kamu udah dewasa sudah seharusnya punya keputusan sendiri, keinginan sendiri kemauan sendiri dan menanggung resiko sendiri. Kmu sudah bgitukah?" Tanyaku sambil menatapnya penuh arti.
"Aku cape, aku mau istirahat. Makasih udah mau nganterin." kataku kemudian.
"selamat sore, Femas"
"Oiya besok-besok tidak perlu antar atau jemput lagi ya," tambahku lagi. Aku tau Femas masih ingin bicara. Hanya aku yg sudah terlanjur malas.
-End
Komentar
Posting Komentar