Abstrak:
Perbedaan kehidupan seseorang tentu berbeda, karena
ini sudah menjadi aturan Allah yang tetap dan pasti. Allah menciptakan semuanya
berpasang-pasangan, laki-laki dengan perempuan, sehat dengan sakit, atas dengan
bawah, dan juga kaya dengan miskin. Perbedaan kaya dan miskin bukan untuk
dipertentangan antar kelas, tetapi untuk menjadikan adanya kegiatan saling
membantu, mendukung, juga saling menolong. Zakat dijadikan sebagai salah satu
cara mensejahterakan orang yang memiliki kekurangan. Kemudian orang yang
mendapat kelebihan rezeki harus memberikan sebagian rizkinya kepada orang yang
memiliki kekurangan. Zakat yang orientasinya merupakan sebuah kewajiban, secara
eksplisit mampu meningkatkan perekonomian umat. Peranan zakat sebagai
pembangunan ekonomi perlu dikembangkan agar melahirkan lapangan pekerjaan untuk
ummat.
Keywords: Zakat, Ekonomi Islam, Pengangguran, dan
Lapangan
Pekerjaan Baru
Pendahuluan
Lapangan
pekerjaan baru merupakan sebuah kebangkitan dari pengangguran. Persaingan di bursa tenaga kerja
pun semakin meningkat ketika pemberlakuan pasar
bebas Asean pada akhir 2015
lalu sudah
diberlakukan. Pembentukan pasar tunggal yang diistilahkan dengan
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ini memungkinkan satu negara menjual barang dan
jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga
kompetisi akan semakin ketat. Pengangguran umumnya disebabkan karena
jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang
mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian
karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan
berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah- masalah
sosial lainnya.
Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik, keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara.
Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik, keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara.
Tingkat kemakmuran sebuah negara dilihat dari
tingkat pertumbuhan ekonomi penduduk Negara tersebut. Semakin tinggi pendapatan perekonomian Negara perkapita, dapat disimpulkan bahwa
kehidupan rakyatnya semakin sejahtera. Tingkat perekonomian dapat dilihat dari
tingkat pendapatan masyarakatnya. Namun, jika terlihat pertumbuhan perekonomian
Negara begitu lambat dan tersendat-sendat, bisa dikatakan tingkat kesejahteraan
rakyatnya belum meningkat dan bisa dan bisa disebut masih banyak yang
menggantungkan hidupnya pada orang lain alias menjadi pengangguran. Tingkat
pengangguran di Indonesia sangat tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari
minimnya masyarakat yang lulus dari perguruan tinggi untuk membuka peluang
usahannya sendiri. Pengangguran di Indonesia meningkat pula dengan
semakin berkurangnya lapangan pekerjaan bagi mereka yang hanya mendapat
pendidikan sampai jenjang sekolah lanjut atas.[1] Melihat hal
tersebut berarti antara zakat, pengangguran dan lapangan pekerjaan baru dapat
dikaitkan. Zakat yang secara eksplisit mampu mengentaskan pengangguran dan
menciptakan banyak lapangan pekerjaan baru. Bisa saja zakat yang di daya
gunakan untuk membentuk lapangan pekerjaan baru mampu bersaing menghadapi MEA
saat ini.
Pembahasan
Pengertian Zakat
Perkataan zakat berasal dari kata zaka, artinya tumbuh dengan subur. Makna
lain kata zaka, sebagaimana digunakan
dalam al-Qur’an adalah suci dari dosa. Dalam kitab-kitab hukum Islam, perkataan
zakat itu diartikan dengan suci, tumbuh dna berkembang serta berkah. Dan jika
pengertian itu dihubungkan dengan harta, maka menurut ajaran Islam, harta yang
dizakati itu akan tumbuh berkembang, bertambah karena suci dan berkah (membawa
kebaikan bagi hidup dan kehidupan yang punya). Jika dirumuskan, maka zakat
adalah bagian dari harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim yang memenuhi
syarat-syarat tertentu pula. Syarat-syarat tertentu itu adalah nisab, haul dan kadar-nya. Menurut hadits, yang berasal dari Ibnu Abbas, ketika
Nabi Muhammad mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman untuk mewakili beliau menjadi
gubernur di sana, antara lain Nabi menegaskan bahwa zakat adalah harta yang
diambil dari orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya,
antara lain fakir dan miskin.[2]
Zakat produktif yaitu zakat yang diberikan
kepada Mustahiq sebagai modal untuk menjalankan suatu kegiatan ekonomi yaitu untuk
menumbuh kembangkan tingkat ekonomi dan potensi produktifitas Mustahiq.[3]
Zakat adalah ibadah kemasyarakatan yang
berkaitan langsung dengan ekonomi keuangan, sosial kemasyarakatan dan
pemerintahan, serta merupakan salah satu dari rukun Islam yang secara tegas
dinyatakan kewajibannya didalam al-qur’an maupun al-hadits, sehingga perintah
menunaikannya oleh al-qur’an hampir selalu dirangkaikan dengan perintah sholat.[4]
Salah satu tujuan zakat yang terpenting
adalah mempersempit ketimpangan sosial di masyarakat dengan seminimal mungkin.
Tujuannya agar si kaya tetap kaya, dan si miskin menjadi kaya. Melihat potensi
zakat yang sedemikian besar, maka selayaknya ia dapat digunakan sebagai
instrument dalam pembanguan perekonomian. Salah satu strategi untuk pembangunan
ekonomi yang mandiri dengan zakat adalah upaya mengurangi kemiskinan dengan
menekan jumlah pengangguran. Seperti dua sisi mata uang, kemiskinan terjadi
karena masyarakat banyak yang tidak
memiliki pekerjaan. Dengan kata lain, menyediakan akses dana secara luas dan
tanpa jaminan bagi mereka yang tidak mampu. Artinya, yang diciptakan adalah
entrepreneur, bukan lapangan kerja itu sendiri. Masyarakat dapat bekerja jika
diberikan kesempatan dan akses dana yang cukup luas bagi mereka yang mau dan mampu
menciptakan usaha. Sama-sama kita ketahui bahwa pada sistem kapitalisme, bunga
menjadi harga bagi mereka yang membutuhkan dana dan ketersediaan jaminan.
Mereka pun harus membayar bunga yang pasti untuk sesuatu yang belum tentu akan
menguntungkan.[5]
Ekonomi Zakat dan Lapangan Pekerjaan Baru
Pemberdayaan
zakat, infak maupun sedekah tidak hanya terbatas pada kegiatan santunan saja,
tetapi juga berpeluang
besar dalam melawan pengangguran di kalangan masyarakat. Kepala
Divisi dan Kerja Sama Baitul Maal Muamalat (BMM) Agus Khalifatullah Sadikin
mengatakan, BMM memiliki program zakat yang membantu mengentasan pengangguran
melalui program Komunitas Usaha Mikro Muamalat berbasis Masjid (KUM3). Program
tersebut menyalurkan zakat kepada fakir miskin melalui pembinaan membangun
usaha kecil menengah (UKM) mereka sendiri. selama dua tahun BMM melakukan
pendampingan terhadap para komunitas fakir miskin yang menerima penyaluran
zakat secara langsung. Pembinaan tersebut bertujuan membentuk keinginan untuk
mengubah diri atau menjadi lebih baik, dekat dengan masjid, dan ingin bekerja
keras.
Masih banyak
fakir miskin yang nyaman dengan kondisinya dan tidak ingin berusaha untuk
mengubahnya. Hasil yang ingin diciptakan oleh BMM adalah mengubah masyarakat
mustahik menjadi masyarakat muzaki, tidak lagi mengandalkan orang lain dan
berpangku tangan. Sejak digulirkan, KUM3 sudah melahirkan 8.000 UKM di seluruh
Indonesia. Bahkan, beberapa dari mereka telah meningkat usahanya di sektor
finansial dan riil. Keberhasilan penerima
manfaat pada sektor finansial, yakni membuka lembaga keuangan mikrosyariah
berhasil di 15 provinsi. Penerima
manfaat juga mengembangkan sektor riil dengan membuka minimarket, salah satunya di Pekalongan dengan nama Toserba
KUM3.
Pengentasan
pengangguran khusus pemuda juga digalakkan oleh Rumah Gemilang Indonesia (RGI)
Al Azhar Peduli Umat (APU). Direktur RGI Dwi Kurnia Ningsih mengatakan, RGI
ingin berkontribusi membantu perekonomian masyarakat kurang mampu melalui
pembangunan karakter dan keterampilan pemuda usia produktif. Pengembangan karakter dan keahlian dalam menciptakan generasi yang
produktif, kreatif, dan mandiri harus ditopang dengan karakter akhlak yang
mulia. Karakter
itulah yang kini sulit untuk dibangun, mengingat perkembangan pemuda saat ini
jauh dari akhlak mulia. Pemuda usia
produktif dari kalangan dhuafa digodok di RGI guna menyalurkan minat mereka
menjadi sebuah keterampilan yang menghasilkan. Mereka dibebaskan untuk memilih
bidang yang difasilitasi oleh RGI yang terdiri dari fotografi, tata busana dan
menjahit, desain grafis, teknik jaringan komputer, aplikasi perkantoran, dan
otomotif. Kemudian, dibina oleh profesional selama enam bulan. Sebagian besar dari para alumni RGI telah bekerja
di beberapa perusahaan besar.[6]
Tiap sistem ekonomi, menurut aliran
pemikiran dan agama tertentu, memiliki instrumental sendiri. Dalam sistem
kapitalis nilai instrumentalnya adalah persaingan sempurna, kebebasan keluar
masuk pasar tanpa ristriksi, informasi dan bentuk pasar yang atomistic
monopolistic. Dalam sistem Marxis nilai insturmentalnya antara lain adalah
perencanaan ekonomi yang bersifat sentral dan mekanistik, pemilikan
factor-faktor produksi oleh kaum ploretal secara kolektif. Dalam sistem ekonomi
islam, ada lima nilai instrumental yang strategis yang mempengaruhi tingkah
laku ekonomi seorang muslim, masyarakat dan pembangunan ekonomi pada umumnya. Salah
satu nilai instrumentalnya adalah zakat.[7]
Banyaknya problem ekonomi ummat menimbulkan
kesenjangan dalam ekonomi. Oleh sebab itu, untuk meminimalisir kesenjangan
ekonomi ummat maka potensi zakat harus dimaksimalkan. Selain karena prinsip
ekonomi yang terkandung dalam zakat jelas-jelas kontradiktif dengan sistem
ekonomi ribawi, sasaran distribusi zakatpun sangat jelas, yaitu untuk kalangan
mustad’afin, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumtif ataupun usaha produktif.[8]
Pada dasaranya zakat itu sendiri mengandung
makna produktif, artinya zakat itu tidak hanya ditujukan untuk sekedar memenuhi
kebutuhan konsumtif fakir-miskin dan mustahik lainnya, tapi lebih dari itu ditujukan untuk
memberdayakan kaum fakir-miskin dalam dalam rangka keluar dari jeratan kemiskinan
mereka. Itulah sebenarnya tujuan dari ditegakannya hukum zakat. Karena
ketika zakat hanya diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif yang
sifatnya harian, maka zakat itu sendiri tidak memenuhi tujuan idealnya.[9]
Pendayagunaan zakat dengan cara yang
produktif dipahami sebagai hukum yang mendistribusikan atau memberikan dana
zakat kepada mustahik secara produktif. Dana zakat diberikan dan dipinjamkan
untuk dijadikan modal usaha bagi orang fakir, miskin dan orang-orang yang
lemah. Salah satu tujuan zakat adalah agar harta benda tidak menumpukkan pada satu
golongan saja, dinikmati orang-orang kaya sedangkan orang-orang miskin pada
larut dengan ketidak mampuannya dan hanya menonton saja. Dalam hal tersebut
dapat dilakukan dengan melaksanakan zakat
produktif. Karena bila zakat selalu atau semuanya diberikan dengan cara konsumtif,
bukannya mengikut sertakan mereka tetapi malah membuat mereka malas dan selalu berharap
belas kasih dari si kaya, membiasakan mereka
dengan tangan bawah, meminta dan menunggu belas kasih. Pendayagunaan harta
produktif untuk konteks pada zaman sekarang sangatlah diperlukan, karena dengan
pendayagunaan harta zakat secara produktif tersebut yang diterima oleh mustahiq
tidak habis begitu saja, akan tetapi bisa dikembangkan sesuai dengan kehendak
dan tujuan zakat itu sendiri, yaitu menghilangkan kemiskinan dan mensejahterakan bagi kaum miskin dengan
harapan secara bertahap mereka tidak
selamanya menjadi mustahiq melainkan akan mejadi muzakki. Dengan begitu
harta zakat semakin berkembang sehingga akan menjadi jumlah yang cukup banyak.
Pengembangan tersebut tetap diarahkan utnuk membantu menyantuni mustahiq menuju
kemandirian mereka. Dan tentunya pengembangan harta zakat tersebut disesuaikan dengan
perkembangan zaman dan berdasarkan kehendak kemaslahatan dan tidak terlepas
dari tuntutan syari’at Islam sehingga makna dari konsepsi zakat itu bisa
tersalurkan dalam penentuan kebijaksanaan pendayagunaan zakat serta tidak
mengaburkan arti dari konsepsi zakat itu
sendiri.[10]
Adapun cara pembagian zakat produktif,
dengan menciptakan pekerjaan berarti amil dalam hal ini pemerintah dapat
menciptaan lapangan pekerjaan dengan dana zakat, seperti perusahaan, modal
usaha atau beasiswa, agar mereka memiliki suatu usaha yang tetap dan
ketrampilan serta ilmu untuk menopang hidup kearah yang lebih baik dan layak.[11] Pengangguran
adalah sebuah paradok modernisasi. Dimana sebenarnya letak kelebihan masyarakat
modern dibandingkan dengan masyarakat tradisional, jika pengangguran masih ada
dan semakin luas berada disekitar manusia. Manusia ingin hidup sejahtera, namun
pengangguran selalu mengancam manusia. Pesan Allah, hendaknya kita jangan
meninggalkan turunan dan anak cucu generasi lemah.[12]
Dengan adanya zakat, permintaan akan tenaga
kerja semakin bertambah dan akan mengurangi pengangguran. Zakat akan meningkatkan
produksi dan investasi dalam dunia usaha sehingga permintaan terhadap karyawan
akan bertambah. Zakat memiliki peran signifikan untuk mengatasi pengangguran.
Tujuan zakat bukan hanya mengurangi pengangguran yang fakir dan miskin dalam
jangka pendek. Akan tetapi, tujuan esensialnya adalah mengentaskan pengangguran
dalam jangka panjang, dengan cara mendayagunakan harta zakat untuk memodali mereka
yang darinya mereka mampu mengembangkanya sendiri sampai memiliki pemasukan yang
mencukupi kebutuhan mereka selamanya.[13]
Kesimpulan
Antara zakat, pengangguran dan lapangan
pekerjaan baru dapat dikaitkan. Zakat yang secara eksplisit mampu mengentaskan
pengangguran dan menciptakan banyak lapangan pekerjaan baru. Bisa saja zakat
yang di daya gunakan untuk membentuk lapangan pekerjaan baru mampu bersaing
menghadapi MEA saat ini. Pendayagunaan zakat dengan cara yang produktif
dipahami sebagai hukum yang mendistribusikan atau memberikan dana
zakat kepada mustahik secara produktif. Dana zakat diberikan dan dipinjamkan
untuk dijadikan modal usaha bagi orang fakir, miskin dan orang-orang yang
lemah.
Dengan adanya zakat, permintaan akan tenaga
kerja semakin bertambah dan akan mengurangi pengangguran. Zakat akan meningkatkan
produksi dan investasi dalam dunia usaha sehingga permintaan terhadap karyawan
akan bertambah.
------------------------------------------------------------
Artikel ini kontribusi dari Meike Siti Nurhajizah
---------------------------------------------------------------
Daftar Pustaka
Abduracchman Qadir. (2001). Zakat Dalam Dimensi
Mahdah dan Sosial. Cet. 2
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Asnainu.(2008). Zakat Produktif
Dalam Persfektif Hukum Islam. Bengkulu: Pustaka Pelajar
Daud Ali. (2012).Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf, Cet.1.Jakarta; UI Press
Mohammad
Didin
Hafiduddin, Pembangunan Ekonomi Umat Berbasis Zakat, http://fai.uhamka.
ac.id/viewcat.php/cal_id=4,
Djamal Doa. (2001). Membangun Ekonomi Ummat Melalui Pengelolaan Zakat Harta.Jakarta;
Yayasan Nusa Madani
Hafidz muftisany, Zakat Entaskan Penangguran, http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/14/11/21/nfdf4h2-zakat-entaskan-pengangguran
Kuntarno Noor, Mohd.Nasir Tajang. (2006) . Zakat dan Peran Negara. Jakarta: FOZ
[1] http://heru-adipraja.blogspot.co.id/2013/07/lapangan-kerja-pengangguran-dan.html, diakses pada 30 Maret 2016
[2] Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf,
Cet.1, (Jakarta; UI Press, 2012). hal.39
[3] Abduracchman Qadir,
Zakat Dalam
Dimensi Mahdah dan
Sosial. Cet. 2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2001),
hlm. 165
[5] Didin Hafiduddin, Pembangunan Ekonomi Umat Berbasis Zakat,
http://fai.uhamka. ac.id/viewcat.php/cal_id=4, di akses Senin
28 Maret 2016
[6]Hafidz muftisany,
Zakat Entaskan Penangguran, http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/14/11/21/nfdf4h2-zakat-entaskan-pengangguran, diakses pada 30 Maret 2016
[7] Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf,
Cet.1, (Jakarta; UI Press, 2012). Hal.9
[8] Djamal Doa, Membangun Ekonomi Ummat Melalui Pengelolaan
Zakat Harta, (Jakarta; Yayasan Nusa Madani, 2001), hal.29
[10] Mu’inan Rifi , Potensi Zakat
(dari konsumtif-kariatif ke
produktif-berdayaguna)Perspektif Hukum Islam, (Yogyakarta; Citra Pustaka, 2011) hal. 142
[11] Asnainu, Zakat
Produktif Dalam Persfektif
Hukum Islam, (Bengkulu: Pustaka Pelajar, 2008) hal.
93
[12] Sahri Muhammad, Mekanisme Zakat
& Permodalan Masyarakat Miskin, (Malang:
Bahtera Press,2006) Hal.189
[13] Naimah, Konsep Hukum Zakat Sebagai Instrumen Dalam
Meningkatkan Perekonomian Ummat, (Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN
Antasari), hal.12