BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendayagunaan zakat adalah bentuk pemanfaatan dana zakat secara maksimum
tanpa mengurangi nilai dan kegunaannya, sehingga berdayaguna untuk mencapai
kemaslahatan umat. Adapun Sasaran pendayagunaan zakat dalam kajian ini akan
kami rumuskan sasaran-sasaran pembagian zakat yang dikenal dengan sebutan
“Musthaquz Zakah” atau asnaf, yaitu kategori atau golongan yang berhak menerima
zakat. Menurut ulama fiqh berdasarkan surah At-Taubah ayat 60 tentang kedelapan
golongan tersebut adalah: fakir, miskin,
amil, muallaf, Hamba sahaya,
orang yang berhutang, untuk jalan Allah (Sabilillah), dan Ibnu sabil.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Aspek
Fiqh Pendayagunaan Zakat?
2. Bagaimana dalil Al-Quran
dan Hadits tentang Pendayagunan zakat?
3. Bagaimana pendekatan Maqashid
al-Syari’ah terhadap Pendayagunaan Zakat?
4. Bagaimana arah dan Panduan
Umum Pendayagunaan Zakat?
5. Bagaimana pandangan Imam
Madzhab dan Ulama Kontemporer tentang Pendayagunaan Zakat?
6. Bagaimana pendayagunaan
Zakat oleh Lembaga atau Pemerintah?
C. Tujuan
Tujuan dari
makalah ini ialah, Mahasiswa diharapkan:
1. Mengetahui yang dimaksud
Aspek Fiqh Pendayagunaan Zakat
2. Mengetahui dalil Al-Quran
dan Hadits tentang Pendayagunan zakat
3. Memahami pendekatan Maqashid
al-Syari’ah terhadap Pendayagunaan Zakat
4. Memahami arah dan Panduan
Umum Pendayagunaan Zakat
5. Memahami pandangan Imam
Madzhab dan Ulama Kontemporer tentang Pendayagunaan Zakat
6. Memahami pendayagunaan Zakat
oleh Lembaga atau Pemerintah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aspek Fiqih
Pendayagunaan Zakat
Pengertian Zakat Secara bahasa[1]
berarti tumbuh, berkembang atau bisa juga membersihkan atau mensucikan (QS
At-Taubah: 103) Secara Istilah Syari’at
berarti menyisihkan sebagian harta untuk dibagikan kepada yang berhak
menerimanya apabila telah mencapai nisab dan syarat-syarat tertentu. Dapat disimpulkan bahwa
Zakat adalah pembersihan dan pensucian terhadap jiwa Hamba Allah.
Pendayagunaan zakat adalah bentuk pemanfaatan
dana zakat secara maksimum tanpa mengurangi nilai dan kegunaannya, sehingga
berdayaguna untuk mencapai kemaslahatan umat.[2]
Adapun sasaran
pendayagunaan zakat dalam kajian ini akan kami rumuskan sasaran-sasaran
pembagian zakat yang dikenal dengan sebutan “Musthaquz Zakah” atau asnaf,
yaitu kategori atau golongan yang berhak menerima zakat. Menurut ulama fiqh berdasarkan surah At-Taubah ayat 60 tentang kedelapan golongan tersebut adalah: fakir, miskin, amil,
muallaf, Hamba sahaya, orang yang berhutang, untuk jalan Allah (Sabilillah),
dan Ibnu sabil.
B. Dalil Al-Quran dan
Hadits tentang Pendayagunan zakat.
Aturan syari’ah menetapkan bahwa dana hasil
pengumpulan zakat, infaq, dan shadaqah sepenuhnya adalah hak miliki para
mustahiq, sebagaimana Firman Allah dalam al-Quran:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta,
dan orang miskin yang tidak meminta” (QS. Adz-Dzariyat:19)
Setidaknya terdapat dua hikmah zakat dalam
kaitannya dengan solusi zakat dalam upaya pengentasan kemiskinan , antara lain:
Pertama, prinsip pokok zakat pada dasarnya adalah perwujudan iman kepada Allah
SWT, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa
kepedulian yang tinggi, menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan
ketenangan hidup, sekaligus mengembangkan dan mensucikan harta yang dimiliki.
Kedua, karena zakat merupakan hak bagi mustahik, maka berfungsi untuk
menolong, membantu dan membina mereka, terutama golongan fakir miskin, ke arah
kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar
dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan hasad yang
mungkin timbul dari kalangan mereka ketika melihat golongan kaya yang
berkecukupan hidupnya. Zakat, sesungguhnya bukan sekedar memenuhi kebutuhan
yang bersifat konsumtif yang sifatnya sesaat, akan tetapi memberikan kecukupan
dan kesejahteraan pada mereka, dengan cara menghilangkan atau memperkecil
penyebab kehidupan mereka menjadi miskin dan menderita.[3]
C. Pendekatan Maqashid
al-Syari’ah terhadap Pendayagunaan Zakat
Secara substansial, ulama ushuliyyun memahami
bahwa maqashid al-syari’ah adalah berkaitan pada semua
pemanfaatan nilai kemaslahatan dan antisipasi nilai kemafsadatan yang meliputi pada
segala sesuatu.“Al-maqashid (maqashid al-syari’ah ) adalah
segala sesuatu yang meliputi nilai-nilai kemaslahatan (kebaikan) dan
kemafsadatan (kerusakan)”.[4]
Maqashid al-syari’ah pada zakat dapat dibagi ke dalam tiga dimensi.
Yaitu, dimensi spiritual personal, sosial, dan ekonomi. Pada dimensi ekonomi
ini mestilah tercermin pada dua konsep utama, yaitu :
1) Pertumbuhan ekonomi
berkeadilan
Islam sangat
menentang akumulasi harta kekayaan oleh kelompok tertentu dalam masyarakat,
sebagaimana disebutkan dalam al-Qur`an Surah Al-Hasyr ayat 7: “Apa
saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari
penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta
itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
Bervariasinya
perolehan rizki dan keseimbangan dalam kesempatan mendapatkan peluang adalah
citra dari keadilan, karena adil itu bukan berarti sama rata. Peluang untuk
menyamaratakan sesuatu hanya berlaku apabila dua hal tersebut memiliki
kesamaan. Allah swt juga memaksudkan bahwa segala apa yang dilakukan oleh
manusia sebagai wujud ketaatan dan mengaharapkan ridha-Nya, akan diberikan
balasan pahala yang berlipat ganda, sebagai motivasi bahwa apa yang diberikan
(zakat yang diberikan) itu bukanlah hal yang sia-sia.
2) Mekanisme sharing
dalam perekonomian, yang mana tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan golongan fakir dan miskin. Golongaan ini memiliki dua tipologi,
pertama, al-sa`il yaitu orang yang terang-terangan meminta dan mengemukakan
kekurangannya. Kedua, al-mahrum, yaitu orang yang enggan meminta atau yang
menjaga harga dirinya dengan tidak mau meminta-minta, padahal sebenarnya ia
sangat membutuhkannya, sebagaimana yang dinyatakan Allah swt dalam al-Quran
Surah Ad-Dzariyat ayat 19: “Dan pada
harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin
yang tidak mendapat bagian.”
Orientasinya
adalah, untuk jangka pendek, kebutuhan primer mustahik dapat terpenuhi.
Sementara pada jangka panjang, daya tahan ekonomi mereka harus ditingkatkan,
sehingga menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Namun kondisi di atas hanya akan
terjadi manakala zakat dikelola oleh pemerintah atau institusi amil yang amanah
dan profesional. Zakat pun akan menumbuhkembangkan etika bekerja dan berusaha
yang benar, yang berorientasi pada pemenuhan rezeki yang halal.
Zakat,
walaupun secara lahiriyah merupakan aturan pada bidang materi (al-mal),
akan tetapi tidak bisa dilepaskan dari sisi eksistensi akidah dan ibadah (al-dîn)
sebagai fitrah kemanusiaan, sumber kehidupan (al-nafs), stabilitas
psikologi (al-‘aql), eksistensi keturunan, keluarga dan kehormatan (al-nasl
wa al-nasb wa al-‘aradh).
D. Arah dan Panduan Umum
Pendayagunaan Zakat
Zakat merupakan salah satu instrument pemerataan pendapatan, zakat yang
dikelola dengan baik akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan
pendapatan, economic growth with equity. Arah dan kebijaksanaan
pendayagunaan dana zakat yang dimaksud adalah segala sesuatu yang berkaitan
dengan usaha pemerintah dalam rangka memanfaatkan hasil pengumpulan zakat
kepada sasaran dalam pengertian yang lebih luas sesuai cita dan rasa secara
tepat guna, efektif manfaatnya dengan system distribusi yang serba guna tentunya
yang produktif, sesuai dengan pesan dan kesan syariat serta tujuan sosial yang
ekonomis dari zakat. Sebelum membahas lebih lanjut, perlu kita jadikan dasar pemikiran[5]
tentang
pendayagunaan zakat bahwa :
1.
Allah tidak
menetapkan perbandingan yang tetap antara bagian masing-masing delapan pokok
alokasi (asnaf)
2.
Allah tidak
menetapkan delapan asnaf harus diberi semuanya. Allah hanya, menetapkan zakat
dibagikan kepada delapan asnaf tidak boleh keluar daripada itu.
3.
Allah tidak
menetapkan harus dibagikan dengan segera setelah masa pungutan zakat, dan tidak
ada ketentuan bahwa semua hasil pungutan zakat (baik sedikit maupun banyak )
harus tetap dibagikan semuanya.
4.
Allah tidak
menetapkan bahwa yang diserah terimakan itu berupa tunai (in cash) atau
bermacam-macam hasil alam (in
kind)
Berkenaan dengan kebijaksanaan
pendayagunaan zakat ini tim penelitian dan seminar Zakat DKI Jakarta antara lain memutuskan :
1.
Pembagian
zakat harus bersifat edukatif, produktif dan ekonomis, sehingga pada akhirnya
penerima zakat menjadi tidak memerlukan zakat lagi, bahkan bisa menjadi wajib
zakat.
2.
Hasil
pengumpulan zakat selama belum dibagikan kepada mustahik dapat merupakan dana
yang bisa dimanfaatkan bagi pembangunan , dengan disimpan dalam bank
Pemerintahberupa deposito, sertifikat atau giro biasa[6]
Hal demikian secara tidak langsung disamping bermanfaat mempunyai
dayaguna terhadap delapan asnaf, maka harta benda zakat sementara belum
disampaikan kepada mustahik dengan menggunakan jasa bank dapat memberi manfaat
umum tanpa mengurangi nilai dan kegunaan, dapat berguna juga untuk kepentingan
modal pembangunan yang bermanfaat kepada program umum dan kemasyarakatan
dismaping harta zakat sendiri dapat disimpan dengan aman tanpa resiko.
Untuk mengarahkan kepada daya guna yang tepat dan cepat, serba guna dan
produktif, perlu perencanaan, pengerahan dan pembinaan bagi sasaran zakat, baik
mustahik yang bersifat pribadi maupun yang bersifat umum atau badan hukum.
E. Pandangan Imam Madzhab
dan Ulama Kontemporer tentang Pendayagunaan Zakat
Menurut jumhur ulama antara lain : Abu hanifah, Malik, Ahmad, Ikhrimah,
Umar Bin Abdul Aziz, Az-Zuhri, Dawud al-Hasan al-Basri, dan Abu Ubaid zakat
boleh dibagikan kepada satu golongan saja dari 8 asnaf itu, bahkan menurut Abu
Hanifah boleh kepada satu orang saja dari salah satu asnaf yaitu kepada mereka
yang paling membutuhkan.
Lembaga BAZIS lebih condong kepada pendapat golongan hanafiyah yaitu
sah nya mengeluarkan zakat dengan qimah jika dikehendaki oleh hajat atau
kemaslahatan. Berpangkal dari pendapat ini zakat fitrah pun dapat di
distribusikan dengan qimah dirupakan dengan uang atau pakaian umpanya, manakala
lebih manfaat bagi fakir miskin karena dilihatnya ternyata seorang fakir miskin
itu sudah cukup bahan makanannya buat kebutuhan berhari raya.
Untuk memperoleh daya guna yang maksimal, al-Quran tidak mengatur
bagaimana seharusnya dan sebaiknya membagikan zakat kepada kategori delapan.
Masalahnya adalah produktivitas pembagian zakat, masalah duniawi yang bersifat ijtihadiyah
sehingga diserahkan saja kepada badan yang mengelola harta zakat.
F. Pendayagunaan Zakat
oleh Lembaga atau Pemerintah
Pola pendayagunaan zakat adalah dengan
menginvestasikan dana zakat. Yusuf
Qardhawi dalam Fiqhuz Zakat mengemukakan bahwa pemerintah Islam diperbolehkan membangun
pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan dari dana zakat untuk kemudian
kepemilikan dan keuntungannya bagi kepentingan fakir miskin, sehingga akan
terpenuhi kebutuhan hidup mereka
sepanjang masa. Pengganti pemerintah untuk saat ini dapat diperankan oleh Badan Amil
Zakat atau Lembaga Amil Zakat yang
amanah, dan profesional.[7]
BAZIS adalah salah satu contoh Lembaga zakat yang memilki agenda dan program-program dalam pendayagunaan zakat nya untuk
di bagikan kepada:[8]
1.
Fakir miskin :
a.
Beasiswa tingkat Dasar sampai Perguruan Tinggi
b.
Pembinaan PKU
MUI
c.
Bantuan Guru
Ngaji/Marbot
d.
Bantuan Guru
madrasah Honorer
e.
Bantuan
Kesejahteraan Kaum Dhuafa
f.
Bantuan Panti
asuhan Non-Panti
2.
Muallaf/ Gharimin/ Ibnu Sabil
3.
Fi Sabilillah/
Bantuan Kemaslahatan Ummat dan peningkatan SDM
a.
Bantuan
kesehatan Ulama dan Mubaligh
b.
Bantuan modal
usaha produktif/wirausaha
c.
Bantuan
Safari Ramadhan
d.
Bantuan
peningkatan mutu Pendidikan di Madrasah
e.
Bantuan
peningkatan sarana pelayanan ZIS
f.
Bantuan
pembinaan mustahik
g.
Bantuan
kelanjutan pendidikan
h.
Bantuan
Pascasarjana
i.
Bantuan
pendidikan / pelatihan tenaga terampil
4.
Intensifikasi dan ekstensifikasi ZIS
a.
Pembinaan
Petugas ZIS
b.
Penerangan
dan Penyuluhan Kesadaran ber-ZIS
5.
Bantuan kesetiakawanan – sosial
6.
Kegiatan Bina Usaha Produktif/wirausaha
Dompet Dhuafa[9] juga memiliki
program yang bergerak untuk mendayagunakan masyarakat baik secara sosial maupun
bisnis atau komersial. Dibidang yang bergerak dalam murni kegiatan Charity
(amal sosial) tanpa pengembangan ekonomi adalah :
1.
LKC (Layanan
Kesehatan Cuma-Cuma) bermaksud untuk memberikan pelayanan gerai sehat, aksi
layanan sehat, masyarakat sehat, ACT medis Dompet dhuafa memberikan layanan
gratis dengan system keanggotaan LKcard.
2. ACT Cepat tanggap bermaksud memberikan One stop
service melayani mustahik pasca bencana, pasca konflik.
3. LPI (Lembaga Pengembangan Insani) bermaksud
mengembangkan potensi mustahik dari sisi pendidikan untuk transformasi sosial
dan pencepatan peningkatan kualitas SDM ummat.contoh nya memberikan beastudy
etos, peduli sosial remaja, pelatihan profesi.
4. LKTG ( Lembaga Kajian Teknologi Tepat Guna )
mengkaji dan mengaplikasikan teknologi yang dapat dimanfaatkan langsung bagi
penigkatan kemakmuran masyarakat marginal. Untuk bidang pertanian.
5.
SPM ( Sahabat
Pekerja Migran)
Yang mengembangkan unit bisnis atau
komersial Dompet Dhuafa yang mendorong pemberdayaan pengelolaan layanan kepada
masyarakat sebesar-besarnya diciptakan untuk iklim profesionalisme bisnis
berdasarkan koridor syariah.
1.
THK ( Tebar
Hewan Kurban ) untuk mendayagunakan peternak lokal yang tersebar seluruh Indonesia.
2.
CDC ( Community
Development Circle ) bergerak di bidang unit bisnis layanan Korporat
–Lembaga untuk mengelola usaha pemberdayaan masyarakat dikawasan sasaran.
3.
IMZ (Institute
Manajemen Zakat) Lembaga pendidikan konsultasi riset dan publikasi yang
berkhidmat untuk optimalisasi eksistensi Lembaga Pengelola Zakat.
4.
Raudha Rahma
Abadi. Biro perjalanan haji umrah dan tour islami lainnya dengan pelayanan
berorientasi costumer dengan penguatan kepedulian sesama.
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI, Pedoman Zakat 9 Seri,
(Jakarta: Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, 2006)
Ismail
Nawawi, Zakat Dalam Perspektif Fiqh, Sosial, dan Ekonomi, (Surabaya: ITS Press,
2010)
Sjechul Hadi
Permono, Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), Cet.ke-2
Lili Bariadi dan Muhammad .Zen , Zakat dan Wirausaha,
(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet.ke-1
Dr. Hj. Zurinal. Z dan Aminuddin M.Ag, Fiqh ibadah,
Lokakarya Zakat DKI Jakarta di Ciawi
oleh Tim Peneliti dan seminar Zakat DKI Jakarta.
Didin Hafidhuddin, Zakat Sebagai
Tiang Utama ekonomi Syariah, Makalah disampaikan pada acara Seminar Bulanan
Masyarakat ekonomi Syariah, (Jakarta, Aula bank Mandiri Tower, 2006)
Mahmud Hamid Utsman, Al-Qamus
Al-Mubin Fi Ishtilahat Al-Ushuliyyin, ( Riyad : Dar Al-Zahim, 1423 H./2002 M.) , Cet. ke-1.
[3] Didin
Hafidhuddin, Zakat Sebagai Tiang Utama ekonomi Syariah, Makalah
disampaikan pada acara Seminar Bulanan Masyarakat ekonomi Syariah, (Jakarta,
Aula bank Mandiri Tower, 2006)
[4] Mahmud Hamid Utsman, Al-Qamus Al-Mubin Fi Ishtilahat Al-Ushuliyyin, ( Riyad : Dar
Al-Zahim, 1423 H./2002 M.) , Cet. ke-1, h. 272.
[5] Sjechul Hadi Permono, Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan
Nasional, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), Cet.ke-2. h. 65
[6] Lokakarya Zakat DKI Jakarta di Ciawi oleh Tim Peneliti dan seminar
Zakat DKI Jakarta.
[7] Ismail
Nawawi, Zakat Dalam Perspektif Fiqh, Sosial, dan
Ekonomi, (Surabaya: ITS Press, 2010),h. 84.
[8] Lili Bariadi dan Muhammad
.Zen , Zakat dan Wirausaha, (Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2005), Cet.ke-1. h. 46
[9] Lili Bariadi dan Muhammad
.Zen , Zakat dan Wirausaha, (Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2005), Cet.ke-1. h. 51