"Kuatnya seseorang tergantung siapa atau apa yang jadi sandarannya"
...
Entah dimana tepatnya aku membaca kalimat ini dan hatiku langsung berkata "Yah, aku setuju".
Selama ini aku tak pernah menumpahkan beban pada siapapun. Aku selalu menaggungnya sendiri, memecahkan sendiri dan akan bercerita ketika kupikir semuanya sudah usai dan taka ada lagi beban yang harus kukhawatirkan.
Berhubung aku jarang menangis, maka tiap satu kali menangis akan sangat menyesakkan, seperti dendam kesedihan-kesedihan lainnya yang tak kutangisi. Berhubung juga aku orang yang tak suka curhat tentang beban diri pada orang lain, maka aku mencari benda mati yang dapat meredakan beban hatiku. solusiku adalah menulis semua uneg-uneg yang ada dalam kepala ataupun dalam hati. Tak jarang aku nangis-nangis dengan tangan terus menulis menumpahkan rasa-rasa dihati dan kepalaku.
Cara ini ampuh, sangat ampuh malah, setidaknya bagiku. karena begitu kita selesai menumpahkan segalanya dan kemudian dibaca lagi, seakan kita mempunyai teman curhat pribadi yang terjamin menjaga kerahasiaan.
Bukankah Prof. B.J Habibi Juga menumpahkan kesedihannya dalam tulisan untuk melepas kepergian ibu Ainun?
Yang pertama, untukku hanyalah "Obat pereda rasa sakit" namun yang kedua ini adalah solusi sebenarnya, "penyembuh yang tiada duanya"
Kadangkala, setelah menulis masih ada ganjalan-ganjalan yang tak bisa dijelaskan dan masih menyisakan sakit. Aku biasanya membaca al-Quran. Biasanya, sesak didada itu tumpah ditengah-tengah ayat, aku berhenti mengambil nafas untuk melanjutkannya dan berhenti sampai tangisku reda. Selepas itu, biasanya aku membaca artinya, percaya atau tidak akan ada solusi yang datang tanpa dinyana, disana tersirat solusi-solusi yang sangat menenangkan. Jika tidak solusi lain akan datang dengan cara unik, langsung ataupun tidak yang biasanya tidak butuh waktu lama, dan membuatku takjub, "beginilah jalan keluarnya".
Baca Juga : Allah Menjawabku dengan Al-Qur'an