1/
Waktu itu
sekitar pukul tujuh malam, selepas jamaah isya di Masjid, Oma mengajakku mampir
ke rumah ustadz Umar yang jaraknya paling ujung di desa ini. Belum seminggu aku
pindah ke desa ini, tapi banyak kebiasaan baru yang sengaja dibangun oleh oma
untuk membuatku menjadi lebih baik sepertinya.
Lihat saja, selain jumatan, saat masih
di Kota mana pernah aku salat jamaah di masjid seperti di sini. Salat jamaah
bersama keluarga saja sudah sangat bersyukur. Salat sendiri saja masih rentan
dengan bolong-bolong.
Aku memang tak keberatan jika saja oma mau aku menjadi lebih
religious. Hanya saja aku penasaran kenapa orang baru sepertiku harus menghadap
ustadz Umar yang notabene bukan kepala desa ataupun ketua RT/RW setempat. Aku
sempat curiga, jangan-jangan oma mau “mengislamkan”-ku karena khawatir aku
bukan sepenuhnya muslim karena lahir di tengah hingar bingar kota besar.
Rasa curigaku makin menjadi karena oma tak mau menjawab pertanyaanku
selama perjalanan ke rumah ustadz Umar ini.
“Nanti kamu akan tau sendiri,” begitu kata Oma, tanpa mau memberi
penjelasan lebih.
“Oma gak berfikir kalo aku sesat, kan? Kenapa harus ke ustadz, sih?”
pertanyaan konyol berikutnya tak bisa ku tahan, oma menghentikan langkah, menatap tajam dan siap mendampratku,
“Anak laki-laki kok cerewetnya kebangetan sih kamu. Kalo oma bilang
nnati kamu bakal tau sendiri, itu artinya kamu gak akan mengerti kalo di
jelasin di sini. Nurut aja lah!” aku akhirnya diam.
Meski sedkit tersinggung dengan ucapan, ‘kamu gak akan ngerti
kalo di jelasin di sini’. Oma belum mengerti aku sepenuhnya ternyata, dia
tidak tahu kalau cucunya ini adalah salah satu pemegang skor IQ tertinggi di
sekolah sebelumnya, langganan juara berbagai lomba dan murid paling di kagumi
guru-guru di sekolah.
Tapi, aku tak berani menjelaskan rentetan prestasi yang ku pikul
sejak pertama kali mengenal bangku sekolah itu. Karena feeling-ku
mengatakan, hal itu tak akan cukup membuat oma bangga dan mengerti.
“Assalamualaikum…”
Kami berhenti di sebuah rumah dengan ukuran sedang dengan taman
bunga cantik menghiasi halamannya. Oma membenarkan peciku setelah ia
mengucapkan salam, seolah aku akan bertemu ayah dari calon pasanganku.
“Waalaikumsalam...” terdengar sahutan lembut dari dalam rumah,
seorang wanita paruh baya cantik berjilbab membuka pintu lalu tersenyum pada
kami,
“Masyaallah, Mak Inda, kenapa tidak masuk saja? Mari masuk,” ujar
wanita itu sambil menyalami Oma dan tersenyum padaku. kami tak menyahut
apa-apa, hanya mengikuti langkah wanita itu.
“Jadi ini yang namanya Keihan,” kata wanita tadi padaku, “kamu mirip
ibu kamu, ya. Ibumu cantik, kamu tampan dan bermata tajam. Sudah umur berapa?”
tanyanya.
“Enam belas tahun, Ustadzah,” jawabku.
“Hei.. panggil saja ibu, anak-anak disini manggil ibu dengan ibu,
bukan ustadzah,” jelasnya lagi.
“Ran di SMA TARUNA juga kan, Des?” Tanya oma, pertanyaan yang lalu
tentang mengapa aku disini belum terjawab, kini muncul pertanyaan baru, Apakah
Ran yang dimaksud adalah Ran yang selama ini begitu sering diperbincangkan
dikalangan orang-orang seumuranku? Tapi aku langsung bisa menyimpulkannya ketika
aku ingat bahwa Ran yang terkenal itu adalah anak dari ustadz Umar.
“Iya benar. Keihan juga sekolah disana?” aku mengangguk.
“Tunggu sebentar. Saya panggilkan Rohan, dulu,” kata wanita itu lalu
menghilang dari pandangan kami.
“Jadi kita bukan mau ketemu ustadz umar?” tanyaku pada oma,
“Bukan, tapi anaknya,” jawab oma, “yang cewek?” aku mencoba menggoda
oma sambil memainkan sebelah alisku, lalu “Plakk!!” jitakan superniat mendarat
sukses di kepalaku. Aku mengaduh.
“Mana mau ustadz umar punya menantu kayak kamu.” Ujarnya. Aku
mencibir, ingin sekali aku menjawab bahwa aku juga tak berminat punya mertua
seorang ustadz. Tapi aku tak siap dengan serangan ganas oma selanjutnya.
Tak lama kemudian, seorang laki-laki yang kira-kira usianya empat
tahun di atasku muncul dari dalam, aku yakin dialah Rohan.
“Sudah lama, Mak?” Tanya Rohan, belum sempat oma menjawab, seorang
gadis berjilbab muncul dengan baki berisi tiga minuman ditangannya. Jika
keluarga ustadz Umar hanya mempunyai dua orang anak, maka tidak salah lagi,
gadis ini pasti yang bernama Ran.
“Baru sampe kok,” jawab oma singkat. Ku lihat gadis itu dengan
seksama, mencari apa yang istimewa darinya, karena semenjak aku disini, nama
Ran begitu tenar di kalangan remaja. Bila di bandingkan dengan mantan pacarku
sewaktu di kota, ku pikir gadis ini tidak ada apa-apanya.
“Ran, dia teman baru kamu loh, masa didiemin aja..” ujar Rohan pada
gadis itu. Mata yang sedari tadi menunduk menyuguhkan minuman itu kemudian
menatapku sekilas. Sangat sekilas, seolah hanya meyakinkan bahwa aku
benar-benar manusia, bukan bayangan dari oma. Selanjutnya tak ada reaksi
apapun,
“Silahkan diminum,” ujarnya mempersilahkan. Tanpa pernah menatapku
lagi, hanya menatap oma dan Rohan, kakaknya.
Ini pertama kalinya aku tau siapa Ran, yang diperbincangkan oleh
teman-temanku disini. Dan dia ternyata begitu sombong, dia memperlakukanku
seolah aku adalah orang yang mengejar-ngejarnya dan dia sama sekali tak peduli.
Padahal kalau aku boleh balik menyombongkan diri, dia bahkan tak
masuk dalam daftar tipe yang patut aku kejar, mantan-mantanku jauh lebih baik
darinya. Perlahan aku mulai meragukan selera orang-orang di desa ini dalam hal
memilih cewek.
Kalau yang seperti Ran saja begitu membuat mereka terkesima, maka
aku jamin mereka tak akan bisa tidur tujuh hari tujuh malam ketika tau
tipe-tipe temanku di kota yang jauh di atasnya.
Selanjutnya adalah adegan dimana pertanyaanku mulai terjawab. Kenapa
aku disini karena ingin berteemu Rohan yang merupakan ketua remaja masjid, oma
mau agar aku masuk remaja masjid. Hal ini cukup memalukan bagiku, karena aku
terlihat seperti anak kecil yang selalu minta perlindungan orang dewasa, karena
ingin masuk remaja masjid saja harus diantara seperti ini.
Ingin aku memberontak, tapi entahlah, aku selalu merasa bahwa posisi
oma selalu benar, dan aku tak pantas melawannya, aku hanya ingin selamat.
Selamat dalam pukulan oma dan selamat dari pergaulan yang “nggak gaul”.
Di desa ini, anak-anak gaul adalah mereka yang bergabung dengan
remaja masjid, hanya dengan embel-embel anggota remaja masjid, wibawa mereka
naik beberapa pangkat. Konon katanya, orang-orang yang sampai umur kepala empat
belum menikah adalah mereka yang bukan anggota remaja masjid, para remaja di
sini begitu terobsesi dengan menjadi anggota remaja masjid.
Aku tertawa dalam hati, aku meragukan satu hal, kalau seandainya aku
tidak masuk remaja masjid, para gadis masih banyak yang mau menjadi pasanganku.
Bukankah aku memenuhi semua kriteria? aku tampan (bahkan istri ustadz Umar saja
mengakui hal ini), aku pintar dan aku lumayan tajir. Untuk hal keagamaan, aku
bisa mengaji dengan baik, guru ngajiku adalah mahasiswa keagamaan dengan IPK di
atas 3,50, apalagi?
Tidak butuh proses lama, aku sudah terdaftar dan mulai bisa
mengikuti kegitan remaja masjid esok harinya. Dengan kata lain, aku sudah sah
menjadi bagian dari “anak gaul” di desa ini.
2/
Keihan Alif
Al-Ihsan. Jangan salah sangka ketika kau membaca tag nama di seragamku. Omaku
adalah inspirator utama kenapa aku menggunakan nama itu seumur hidupku.
Oma bilang, sewaktu kecil ayah sangat bandel sehingga membuat oma
begitu prihatin. Bayangkan saja sehari masuk SD, Papa membuat teman-teman satu
kelasnya menangis, bagaimana tidak, ketika jam pelajaran pertama di mulai dan
guru belum memasuki kelas, ia menaruh binatang seperti, cacing, anak ular,
kodok dan lain-lain ke meja teman-temannya. Begitu di tanya darimana ia
mendapatkan semua binatang itu, papa menjawab dengan senyuman malu-malu, bahwa
ia mngambilnya dari kelas lima yang saat itu mau praktikum biologi.
Saat bercerita padaku, papa bilang bahwa para kelas lima lah yang
harusnya di salahkan karena membiarkan pintu kelas terbuka dan melarang oang
seperti papa untuk menyentuh binatang-binatang itu, meski sudah melihatnya.
Sebagai balasan, papa fikir mungkin mereka akan tau rasa kalau
binatang-binatang itu hilang. Tapi, papa tak mau menjelaskan bagaimana cara ia
mengendap-ngendap ke kelas lima dan mendapatkan binatang-binatang itu.
Di masjid tempat ia belajar mengaji, Papa juga pernah membuat onar.
Malam jumat adalah jadwal piket Papa untuk adzan magrib, tapi entah untuk
alasan apa, tidak biasanya sekali malam itu papa menolak menjadi muadzin,
iasanya berhadapan dengan microphone adalah hal yang sangat disukainya. Jnegkel
karena di paksa, papa akhirnya mau menunaikan tugas tersebut tapi di embeli
dengan “balas dendam”. Begiru
orang-orang tertunduk hikmad karena akan mendengarkan adzan, tapi suara terduga
malah di pantulkan melalui microphone dan terdengar hingga melalui TOA masjid, “BROTTTT…BROTTT…….” Kehikmadan mnjelang
panggilan salat lenyap sudah. Dengan sengaja papa kentut di microphone agar
terdengar melalui TOA.
Padaku, papa memang menolak mentah-mentah tak pernah melakukan hal
itu, tapi oma bercerita bahwa kejadian “kentut ajaib” itu adalah salah satu
kejadian yang tak pernah di lupakan Oma sepanjang ia menjadi ibu dari Papa.
Oma nyaris menyesal dan putus asa karena tidak bisa meluruskan
kelakuan Papa. Hingga suatu ketika papa
memperkenalkan seorang gadis cantik bermata tajam yang seratus delapan puluh
derajat berbeda dnegan dirinya. Harapan itu hadir ketika Oma bertemu dengan Mama.
Saat itu pula Oma bertekad, ia harus berhasil mendidik cucunya agar
tidak tumbuh menjadi seperti anaknya.
Aku mafhum dengan hal ini,
……
3/
Hari pertama
sekolah.
Aku tak tahu
bahwa aku disambut dengan sangat hangat si sekolah ini. Aku tak mau membandingkan
sekolah ini dengan sekolahku sebelumnya.
Komentar
Posting Komentar